Elegi Bukit Jalil




Mungkin harapan saya, atau kita, saja yang terlalu muluk. Mungkin pula angan-angan tak berbatas kita yang begitu luas berkeliaran. Atau bahkan mimpi yang kerap kita sanjung itu terlalu mengusik. Namun, pada kenyataannya angan, harapan, dan mimpi kita untuk melihat timnas U-16 berlaga di Piala Dunia tahun 2019 sudah sirna.

Lalu mengapa? Bukankah kita terbiasa atas itu? Bukankah sepak bola dan kegagalan sudah selayaknya seperti kawan karib bagi kita?

**
Sejujurnya, ketika saya memutuskan untuk datang langsung mendukung Garuda Muda ke Stadion Bukit Jalil Malaysia, saya sudah mencoba mengatur ekspektasi saya serendah mungkin. Memang ada tekad yang begitu kuat untuk menjadi saksi tonggak sejarah lolosnya tim muda Indonesia ke Piala Dunia. Bohong rasanya bagi saya jika tak mengakui itu.

Namun sekali lagi, dengan pengalaman di segala level kompetisi sebelumnya, ditambah dengan lawan Australia yang punya tradisi sepak bola yang cukup kuat di Asia, saya letakkan harapan itu sedalam mungkin. Kalau perlu hanya setitik saja terlihat untuk harapan itu.

Jalannya awal pertandingan seakan memihak saya untuk terus tak menaruh mimpi itu terlalu dekat. Baru satu menit berjalan, jala gawang Indonesia yang dikawal Ernando hampir koyak. Beruntung sepakan pemain Australia hanya mengenai tiang gawang.

Lima belas menit pertama seperti neraka bagi saya. Panas, sesak, dan begitu berdegup. Berkali-kali pertahanan Indonesia diacak-acak Australia. Saya sebisa mungkin mengusir perasaan itu dengan terus bernyanyi bersama supporter yang digawangi Aliansi Supporter Indonesia di Malaysia.

Ajaib. Sedikit kesalahan pemain belakang Australia pada menit 17 berhasil dimanfaatkan Sutan Zico dengan mencetak gol ke gawang Australia. 1-0 bagi kita. Saya sendiri tak menyangka kita akan unggul secepat itu.

Setelahnya waktu terasa begitu lama. Berulang kali saya menengok ke papan waktu digital di belakang gawang. Ketika skor masih sama saat turun minum, ada perasaan cemas dan gelisah terus menghantui. Pun sebaliknya, harapan yang saya coba sembunyikan di awal langsung terasa begitu dekat. Sangat dekat. Hanya 45 menit saja.

Ternyata rasa gelisah saya tuntas adanya. Pada babak kedua, Australia membalas dengan 3 gol. 3-1 untuk Australia. Skor ini membuat hampir seisi stadion terdiam. Hening untuk seketika. Kita tak mencaci, tapi tak juga bernyanyi untuk sekejap. Hanya ada sayup-sayup lirih yang masih terdengar.

Mengerti bahwa hanya diam adalah sebuah hal sia-sia, saya mencoba terus berdiri dan bernyanyi sebisa mungkin. Tak akan terdengar jelas bagi si pemain memang, tetapi siapa peduli, niat awal saya datang memang untuk mendukung, bukan hanya menonton.

Pada akhirnya, gol Rendy Juliansyah di akhir babak kedua belum cukup untuk mengantarkan mimpi bersama rakyat Indonesia menjadi kenyataan. Kita kalah 2-3. Lagi-lagi, sebuah kegagalan yang agaknya memang sudah akrab dengan sepak bola kita.

Begitu peluit panjang dibunyikan, hampir seluruh pemain Indonesia jatuh tersungkur. Menangis, tertunduk, dan terbaring. Terlihat jelas mereka sangat terpukul. Beberapa pemain Indonesia lain dan pemain Australia tampak berusaha untuk menenangkan pemain Indonesia. Sebuah pemandangan yang jujur saja bagi saya cukup melankolis.

Saya benar-benar tidak tega melihat adik-adik ini menangis di depan mata kepala saya sendiri. Mimpi mereka yang begitu besar untuk mengharumkan bangsa di usia yang masih sangat muda harus tertunda.

Ketika seluruh pemain dan ofisial menghampiri supporter Indonesia, masih tampak jelas beberapa pemain tak mampu untuk sekadar menegakkan kepala. Sutan Zico, Bagas, Bagus, Rendy, dan beberapa pemain utama lain tampak masih berusaha menghentikan air mata mereka.

Teriring lagu Indonesia Pusaka yang didengungkan supporter seisi stadion bersama dengan pemain dan ofisial, saya menyerah untuk terus menahan air mata. Rasanya tangis adik-adik ini begitu dekat. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya menerima kenyataan menunda mimpi mereka. Mimpi yang mulanya berjarak begitu dekat.

Saya hanya memikirkan (semoga ini salah), mereka belum tentu bisa, minimal mengulang pencapaian ini di level selanjutnya jika tak ditangani dengan benar. Jalan mereka masih begitu panjang. Masih ada level U-19, U-22, hingga senior.

Memang pada akhirnya semuanya dikembalikan lagi kepada tapuk kekuasaan tertinggi sepak bola Indonesia, dalam hal ini PSSI, untuk mengelola dengan benar pemain-pemain timnas usia dini ini. Setidaknya mereka telah memulainya tahun ini. Kompetisi resmi dari jenjang U-16 dan U-19 telah dijalankan, dan setiap klub Liga 1 wajib mengirimkan perwakilannya.

Butuh proses memang, dan tak akan instan untuk menuju perbaikan. Bersama dengan konsep Filosofi Sepakbola Indonesia yang telah dirintis November 2017 lalu, semoga ini menjadi langkah paling awal untuk menuju Piala Dunia. Entah Piala Dunia edisi tahun berapa, yang jelas (semoga) saya pun tak akan lelah untuk menjaga mimpi itu.

Tetap semangat, Garuda Muda!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Selamat Hari Buku Sedunia!

Ujung Pengabdian Panjang Arsene Wenger Bersama Arsenal