Yang Fana Adalah Waktu, Subang Abadi




Tahu apa yang paling menjemukan dari pertemuan? Perpisahan. Tak satu pun sesuatu di dunia ini berakhir dengan kekekalan. Pertemuan, sayangnya termasuk yang harus kita hadapi satu bungkus bersama perpisahan. Menyedihkan memang, tetapi namanya juga kehidupan, sepahit atau semanis apapun kenangan di dalamnya, waktu lah yang terus memaksa kita untuk melaju.

**

Bandung, 30 Juli 2018

Pagi hari, sekitar 500-an volunteers hajat besar Indonesia, Asian Games 2018, dikumpulkan di Gedung PUSDAI Bandung, termasuk saya. Mereka ini lah yang nantinya akan ditempatkan sebagai volunteer di klaster Jakarta Suburb (Bandung, Bekasi, Bogor, Subang, Majalengka, dan Banten).

Saya sendiri memang sengaja memilih klaster Suburb mengingat cabang olahraga favorit dan incaran saya untuk ditempatkan, sepak bola, berada di klaster Suburb. Pun dengan yang lain, saya haqqul yakin mereka memilih klaster Suburb karena magnet dari sepak bola itu sendiri.

Sore hari, beberapa teman di belakang saya terlihat gaduh dengan gawainya masing-masing. Ternyata nama volunteer yang akan bertugas di cabang olahraga sepak bola sudah dirilis! Tanpa pikir panjang langsung mengecek daftar nama yang sudah tersebar di grup chat.

Dasar firasat buruk, file yang sudah tersebar tak bisa dibuka dengan lancar. Butuh perjuangan untuk keluar gedung dan mencari sinyal, hanya untuk memastikan bahwa nama saya juga tertulis rapi di daftar tersebut.

Benar saja, kata kunci “BAHAR” yang saya masukkan tak dapat menemukan keasliannya. Baik di venue Patriot Chandrabaga, Si Jalak Harupat, Pakansari, pun dengan Wibawa Mukti. Keempat stadion itu tampaknya tak mau tapak kaki saya membekas di sudut bangunan mereka.

Berkali-kali, tepatnya 5 kali, saya terus mengulang untuk membuka dan membaca daftar nama, berkali-kali pula saya menggelengkan kepala tanda tak percaya. Angan untuk bertemu pencetak gol ke gawang Manuel Neuer di Piala Dunia, Son Heung Min, seketika sirna.

Malam hari, sekitar pukul 11, notifikasi undangan grup WhatsApp masuk di gawai saya. Saya dimasukkan dalam grup volunteer cycling di Subang! Sepeda dan Subang, tak sedikit pun tebersit di pikiran saya sebelumnya. Mungkin Tuhan memang tahu cara paling mudah untuk menghukum makhluknya yang sering congkak dan terbuai.

Ciracas, 10 Agustus 2018

Mengingat hari kerja yang hanya 5 hari di Subang, seluruh volunteers divisi sport and games service liaison officer ditempatkan terlebih dahulu di GOR Ciracas untuk melayani pembagian seragam dan akreditasi bagi delegasi negara dan panitia pelaksana cabang olahraga. Tak ada kaitan langsung dengan divisi yang dipilih memang. Yah.. itung-itung menambah uang saku pengalaman, lah.

25 dari 35 anak ikut tahap awal sebelum menuju games time di Subang ini. Selayaknya sebuah pertemuan pertama, selalu diawali dengan saling sapa dan bertukar informasi pribadi.

Tak ada yang janggal di awal hari kerja. Teman-teman masih bingung dengan deskripsi kerja mereka. Maklum, “anak Subang” ini boleh dibilang sebagai kelinci percobaan karena mereka lah yang akan membuat sistem pembagian seragam dan akreditasi ini.

Malamnya, bisa disebut sebagai perkenalan yang sebenarnya. Puluhan kardus besar berisi sepatu, tas, dan topi dalam satu truk kontainer harus diangkat dari lantai 1 menuju lantai 3. Yang menyenangkan, hampir seluruh teman-teman saya ikut terlibat.

Pekerjaan yang sewajarnya dilakukan laki-laki ini juga dikerjakan oleh perempuan. Saya masih ingat betul tak satu pun teman saya yang memilih tidur, meskipun saat itu pekerjaan baru selesai pukul 3 dini hari. Cukup mengagetkan memang.

Setelahnya, bak sebuah pabrik konveksi dan garmen, kami ditugaskan untuk mensortir dan mencatat setiap barang yang masuk dan keluar. Setiap hari, selama kurang lebih seminggu. Kami sempat bergurau, ternyata psikotes dan wawancara bahasa inggris di awal tahapan seleksi pada akhirnya digunakan untuk mengangkut kardus.

Sempat pula dua kontainer datang jam 1 dini hari ketika kami sedang asyik-asyiknya bermain uno. 4-5 kawan bahkan harus tidur jam 6 pagi demi menyelesaikan pengangkutan barang dari kontainer tersebut. Kawan lain ada yang menyerah pukul 3, terbaring lemas di depan lift, hingga tergeletak di tribun GOR.

Beruntung kami sempat ditempatkan di Ciracas selama kurang lebih seminggu. Selama seminggu itu pula kami tidur, mandi, dan makan dalam satu atap. Apapun kami lakukan bersama. Bahkan kawan yang domisili Jakarta pun rela untuk ikut menginap di Ciracas.

Tanpa penempatan di Ciracas ini, saya tak yakin kami bisa sedekat dan seemosional itu nantinya.

Subang, 20 Agustus 2018

Tempat yang tak diharapkan itu mau tidak mau harus kami tempati juga. Apalagi tak cuma saya yang merasa bahwa kiranya lebih pantas berada di cabang sepak bola, kalau mau dihitung ada 10 orang lebih di antara kami! Sebuah pengakuan dosa yang akhirnya terlontar setelah kami merasa cukup dekat untuk saling berbagi cerita.

Hari pertama bertugas sebagai liaison officer negara Iran, saya sudah mendapat protes dari pelatih tim sepeda gunung yang mengeluhkan jadwal karet dari panitia. “Kebiasaan warga Indonesia, terlambat, makan, dan tidur siang.” katanya

Belum lagi manajer tim yang mengumpat di depan muka saya sambil melempar botol minum karena kursi yang didudukinya patah. Cukup berat, pikir saya, tetapi ternyata tak seburuk yang dibayangkan. Mereka cukup mengerti dengan kapasitas saya yang hanya sebagai sukarelawan.

Hal yang membanggakan adalah ketika dua nomor sepeda gunung berhasil disikat habis Indonesia. Dua emas dari Subang! Meskipun saya tak bisa menyaksikan upacara medali secara langsung karena harus menemani segenap atlet dan ofisial dari Iran yang benar-benar terpukul dengan hasil lomba. Semua raut muka tertekuk, bahkan si atlet sendiri menangis.

Subang, 23 Agustus 2018

Kali ini giliran Kazakhstan yang beruntung menerima servis saya. Mereka menurunkan 4 atlet di nomor balap sepeda road race. Tak ada kesulitan berarti, mungkin hanya salah satu ofisial yang lumayan keras menanggapi tiap pertanyaan saya.

Dogma bahwa negara yang saya temani akan menerima sial akhirnya terhapus. Dua emas berhasil disumbangkan Kazakhstan dari total empat nomor di road race. 

Alexey Lutsenko, pebalap Kazakhstan peraih dua medali emas






**

Dengan berakhirnya cabang olahraga road race, berakhir pula tugas kami di Subang. Kalau boleh jujur, pengalaman di balik layar selama di Subang lebih sulit untuk terhapus dari memori.

Bagaimana tiap pagi harus antre kamar mandi yang hanya satu sedangkan satu rumah ada kurang lebih 15 anak, belum lagi air yang susah didapat. Bagaimana tiap pagi menempuh 15 km dengan kendaraan pick up bak hewan qurban. Bagaimana tiap malam bergantian untuk mencari minimarket terdekat hanya untuk sekadar mencari camilan dan kopi.

Hampir tiap malam main uno hingga larut hanya untuk mencari pecundang yang berpamitan naik gunung, berebut kasur dengan kawan wanita yang jumlahnya memang terlalu banyak, tiap malam mengisi bak mandi untuk memastikan air sudah cukup untuk esok pagi, dan masih cukup banyak memori yang terlalu panjang untuk ditulis.

**

Malam terakhir kebersamaan kami selama kurang lebih 3 minggu diakhiri dengan cukup melankolis. Kami sekitar 15 orang berkumpul untuk saling mengucap kata pisah. Saya sendiri sangat berat untuk sekadar menyelesaikan kata yang terucap hingga tuntas. Pun dengan yang lain, pelupuk mata mereka sudah tergenang. 

Saya mewajarkan atas apa yang terjadi dengan kami yang begitu emosional. Kami memang dekat, sangat dekat bahkan. Mengingat latar belakang daerah kami yang begitu beragam, serta rasa sadar akan sulitnya untuk mengulang waktu bersama lagi, saya lagi-lagi menyadari bahwa tangis yang sempat pecah adalah hal yang sangat lumrah.

Ditambah dengan salah satu kawan yang dengan sadar dan sengaja, memberikan sebuah tanda perpisahan kecil bagi kami. Sebuah foto kami bersama yang dibaliknya bertuliskan beberapa kata yang ia tulis sendiri, dan berbeda untuk setiap orang. Kalau saya tak salah ingat, baru di momen inilah saya mendapatkan kenang-kenangan dari seorang lelaki.
Sedikit coretan yang seketika meruntuhkan kejantanan saya.


Memang perasaan paling bahagia adalah ketika kita mudah bersyukur dengan keadaan. Dari yang awalnya tak mengharapkan untuk ada, tetapi di akhir harus saling bertukar air mata hanya untuk sekadar melepas perpisahan sepertinya sudah cukup menggambarkan, bahwa kebersamaan singkat ini, minimal akan selalu membekas dan terkenang.


Terima kasih, teman-teman keluarga volunteers Subang! Sebuah kehormatan sekaligus kebanggaan bisa mengenal kalian. Semoga sukses di setiap langkah perjalanan hidup kalian selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Elegi Bukit Jalil

Selamat Hari Buku Sedunia!

Ujung Pengabdian Panjang Arsene Wenger Bersama Arsenal